Adab musyawarah

Selasa, 22 Mei 2012

Perang Uhud

Dalam sidang menjelang perang, para sahabat berkeras untuk keluar menyambut musuh. Tapi Sang Nabi bermimpi ada lembu di sembelih, mata pedang beliau tergigir, dan beliau memasukkan tangannya ke dalam baju besi kokoh. Beberapa ekor lembu yang di sembelih itu beliau ertikan akan ada sahabat-sahabat beliau yang terbunuh. Mata pedang yang rompal berarti anggota keluarga beliau akan mendapatkan musibah. Dan baju besi yang kokoh itu adalah kota Madinah.

Kita sudah tahu kelanjutan kisah. Atas pendapat sahabat-sahabatnya, Nabi mengalah. Mereka berangkat menghadang musuh di Uhud. ‘Abdullah bin Ubay, si munafik, yang dalam musyawarah habis-habisan menyokong mimpi Nabi berkata, “Sungguh celaka kalian yang menentang Rasulullah!” Lalu bersama sepertiga pasukan ia menyempal pergi, meninggalkan Sang Nabi. Dan hari Uhud terjadilah. Kemenangan dan kekalahan dipergilirkan. 70 lelaki mulia menjadi syuhada. Sang Nabi luka-luka, bahkan dikabarkan hilang nyawa.

Izinkan saya bicara lain kali tentang keguncangan perasaan dan akhlak dalam kekalahan ini. Kali ini, kita hanya akan bicara tentang pergelutan manhaj. Dan manhaj yang paling tergoncang oleh kekalahan ini adalah Prinsip Syura.

Dulu, di Surah Asy-Syuraa ayat ke-38, Allah memuji Syura sebagai bagian dari urusan orang-orang yang mematuhi seruan Rabb-nya, yang mendirikan solat dan menafkah-kan rezeki di Jalan-Nya. Kini, bagaimana nasib syura setelah kekalahan Uhud? Bukankah dalam syura menjelang perang, mereka telah memenangkan pendapat majority, atas mimpi meyakinkan Sang Nabi? Lalu mereka kalah. Syubhat-syubhat berkerumuk. Syura-kah penyebab kekalahan itu??
Bukan-kah ada serpihan kebenaran dalam ocehan panas Abdullah ibn Ubay?
Katanya. “Aah… Sudah kukatakan pada kalian jangan menentang mimpi Sang Nabi, jangan keluar dari Madinah, dan jangan mengikutinya menyonsong musuh!”

Syura. Masihkah ia akan dilakukan jika hasilnya sebagai mana mereka rasakan; kekalahan yang memedihkan?

Atau biarkanlah Sang Nabi yang kata-katanya suci mengatur segalanya dan mereka siap sedia bekerja tanpa kata? Subhanallah. inilah kalimat yang difirmankan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala kepada RasulNya;

“..Maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan tetap bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu…” (Ali ‘Imran [3] :159)

Ternyata, di saat syura diragukan dan dipertanyakan, justru Allah menjadikannya perintah. Di saat syura mereka maknai sebagai sebab kekalahan, Allah mengatakan, “Bukan! Dan tetaplah bermusyawarah!”

Sebuah manhaj dalam agama ini telah Allah tegakkan dengan ayat ini. Bahawa Sang Nabi pendapatnya benar, tetapi syura adalah jalan yang lebih dekat dengan ridhaNya. Bahawa memang ada kekalahan, tetapi pergelutan manhaj harus dimenangkan; Syura!
(Dalam Dekapan Ukhuwah halaman 424-426)

2. Tawanan Perang

Tersebutlah bahwa Rasulullah saw meminta masyuroh para sahabatnya berkenaan dengan tawanan perang Badar.

‘Umar bin Al Khaththab ra berpendapat, “Bunuh saja semua”.
Abu Bakar ra berpendapat, “Mereka kan masih kerabat kita, kita suruh bayar tebusan saja”.

Singkat cerita Rasulullah saw cenderung kepada pendapat Abu Bakar ra. Setelah semuanya dilaksanakan sesuai dengan pendapat Abu Bakar ra, wahyu turun. Isi wahyu yang turun itu cukup membuat ngeri dan merinding seluruh rambut. Allah swt berfirman,

“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah, sedangkan Allah swt menghendaki (pahal) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil.” (QS Al Anfal: 67 – 68)

Rasulullah saw mengangis atas teguran Allah swt ini, begitu pula Abu Bakar Ash-Shiddiq ra. Tidak lama kemudian, Umar bin Al Khaththab ra datang. Rasulullah saw bersabda: “Kalau saja adzab Allah swt itu turun, niscaya tidak ada yang selamat kecuali Umar”. Mendapatkan pendapatnya dibenarkan oleh wahyu, Umar tidak lantas kegirangan dan ujub. Justru Umar bin Al Khaththab-pun ikut menangis.

Pertama karena teguran itu tidak hanya ditujukan kepada Rasulullah saw dan Abu Bakar saja, akan tetapi juga kepada seluruh kaum muslimin, bukankah keputusan itu berlaku bagi kaum muslimin seluruhnya, dan bukankah pula kaum muslimin itu satu badan, dan satu organ, yang jika sebagiannya sakit, maka yang lainnya-pun ikut merasakannya, dan bukankah keputusan itu diambil dari syuro? Kedua karena Umar bin Al Khaththab takut terkena ‘Ujub, sebab ‘ujub itu menghapuskan amal, sebagaimana hujan deras menghapus tanah yang ada di atas batu yang licin.
http://reocities.com/CapitolHill/embassy/4083/tarbiyah/musyawarah.html

3. Perang Tabuk
kisahnya baca disini ya,
http://embuntarbiyah.wordpress.com/2007/07/13/kisah-ka%E2%80%99ab-bin-malik-dalam-perang-tabuk/4. Umar dan Khalid

Di penghujung pertempuran menjelang akhir, datang seorang utusan kepada Khalid Bin Walid. Utusan Khalifah yang baru, Umar Bin Khattab ra yang menggantikan Abu Bakar ra yang telah wafat. Surat itu berisi pemberhentian Khalid dari jabatannya sebagai panglima perang dengan Abu Ubaidah ra sebagai pengganti.

Dengan tenang Khalid bin Walid membaca surat itu dan meminta kepada kurir untuk tidak memberitahukan isi surat kepada siapa pun sampai peperangan berakhir. Pertimbangan Khalid saat itu adalah khawatir instruksi dari Khalifah ini dapat memecah konsentrasi pasukan muslimin. Pertempuran terus berlanjut sampai akhirnya pasukan muslimin dapat mencapai kemenangan.

Usai pertempuran yang melelahkan, saat peluh masih membasah, luka masih belum terobati, darah masih menetes di ujung pedang. Sang Pedang Allah bergegas menjumpai Abu Ubaidah untuk menyampaikan pesan pengangkatannya sebagai panglima pengganti dirinya. Pemecatan Khalid oleh Khalifah Umar bukan sama sekali dilandasi ketidaksukaan (like or dislike). Tapi lebih didasarkan atas firasyatul mu’min untuk menyelamatkan aqidah umat dan keimanan Khalid sendiri.

Kemenangan demi kemenangan yang dicapai Khalid dalam pertempuran menjadikan namanya harum semerbak, popularitasnya memuncak. Tapi prestasi spektakulernya ini membawa pada kecenderungan pengkultusan akan dirinya. Khalifah Umar membaca ini dan khawatir umat terperosok, begitu juga Khalid akan mendapatkan fitnah yang besar.

Selanjutnya Khalid kembali berjuang di bawah kendali mantan anak buahnya sebagai jundi al-muthi’ah tanpa mempedulikan statusnya yang “turun pangkat”. Ketika dikonfirmasi tentang pemecatan dirinya, beliau menjawab: “Aku berperang bukan untuk Umar tapi karena Allah swt”.

http://www.jalanpanjang.web.id/2011/07/khalid-aku-berperang-bukan-untuk-umar.html

This entry was posted in Uncategorized. Bookmark the permalink.

Leave a comment